Perkembangan Sastra
Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam
bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk
kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat,
syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan
usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra
Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah
Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal
dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling
termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah
Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya
memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang
raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia
hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang
telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah
Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin
abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849).
`Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan
perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan
pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian,
penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah
merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk
daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda)
semakin erat.
Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri,
menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai
daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis,
terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing.
Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit
putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara
juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et
impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap
penjajahan Belanda.
Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang
kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka
berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah
cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme
itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan
sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak.
Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan
di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran
itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama
yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar