Pengaruh
Bahasa Pertama Pada Pamerolehan Bahasa 2
Keanekaragaman
budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang
akan diperoleh anak pada tahapan berikutnya. Sebagai contoh seorang anak yang
orang tuanya berasal dari daerah Melayu dengan lingkungan orang Melayu dan
selalu menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi sehari-hari, maka anak
itu akan mudah menerima kehadiran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (B2) di
sekolahnya. Tuturan bahasa pertama (B1) yang diperoleh dalam keluarga dan
lingkungannya sangat mendukung terhadap proses pembelajaran bahasa kedua (B2)
yaitu bahasa Indonesia. Hal ini sangat dimungkinkan selain faktor kebiasaan juga
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Lain halnya jika kedua orang
tuanya berasal dari daerah Jawa dengan lingkungan orang Jawa tentu dalam
komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Jawa akan mengalami kesulitan untuk
menerima bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia yang dirasakan asing dan
jarang didengarnya. Selain dua situasi di atas juga berbeda dengan pasangan
orang tua yang berasal dari daerah yang berbeda dengan bahasa yang berbeda pula
dan lingkungan yang berbeda dengan kedua bahasa orang tuanya maka anak akan
memperolah bahasa yang beraneka ragam ketika bahasa Indonesia diperolehnya di
sekolah akan menjadi gvbmasukan baru yang berbeda pula. Untuk kasus yang ketiga
dapat dicontohkan apabila ibunya berasal dari daerah Sekayu sedangkan ayahnya
berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan orang
Palembang dalam mengatakan sebuah kata yang berarti mengapa akan diucapkan ibu
ngape (e dipaca kuat (e taling)) dalam bahasa Sekayu dan bapak dengan ucapan
ngape (e lemah (e pepet)) dalam bahasa Pagaralam dan bahasa di lingkungannya di
Palembang ngapo. Ketika anak memasuki sekolah, ia mendapatkan seorang teman
yang berasal dari Jawa mengucapkan kata ngopo yang berarti mengapa maka
bertambah lagi keanekaragaman bahasa yang diperolehnya. Seorang guru pada
jenjang sekolah pada kelas tinggi ia menjumpai kata mengapa akan merasa
kebingungan karena ada lima bahasa yang ia terima. Bagi anak yang kemampuan
kognetifnya baik atau lebih dari rata-rata ia akan bisa membedakan bahasa
Sekayu, Palembang, Pagaralam, Jawa, dan bahasa Indonesia. Kenyataan inilah yang
menjadi dampak bagi anak ketika pemerolehan bahasa pertama yang didapatkan
berpadu dengan bahasa kedua sebagai bahasa baru untuk digunakan dalam
komunikasi di jenjang lembaga resmi atau formal. Orang tua dan lingkungan
mempunyai andil besar terhadap pemerolehan bahasa yang akan dipejarinya di
lembaga formal.
Dijelaskan dalam aliran behavioristik Tolla
dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) bahwa proses penguasaan bahasa pertama
(B1) dikendalikan dari luar, yaitu oleh rangsangan yang disodorkan melalui
lingkungan. Sementara Tarigan dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24)
mengemukakan bahwa anak mengemban kata dan konsep serta makhluk sosial. Tarigan
memadukan bahwa konsep pemerolehan belajar anak berasala dari konsep kognetif
serta perkembangan sosial anak itu sendiri. Adapun perkembangan sosial itu
sendiri tidak terlepas dari faktor orang-orang yang kehadirannya ada di
lingkungan diri anak. Orang-orang yang dimaksud adalah teman, saudara dan yang
paling dekat adalah kedua orang tua yaitu ayah serta ibunya. Hal ini
menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh kedua orang tua sebagai orang yang
pertama kali dekat dengan diri anakH ketika menerima bahasa pertama sangat
berdampak terhadap anak dalam tahapan pemerolehan bahasa kedua (B2). Pemerolehan
bahasa pertama anak adalah bahasa daerah karena bahasa itulah yang diperolehnya
pertama kali. Perolehan bahasa pertama terjadi apabila seorang anak yang semula
tanpa bahasa kini ia memperoleh bahasa (Tarigan dalam Safarina dan Indrawati,
2006:157). Bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal anak sebagai
bahasa pengantar dalam keluarga atau sering disebut sebagai bahasa ibu (B1).
Bahasa ibu yang digunakan setiap saat sering kali terbawa ke situasi formal
atau resmi yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bagi
anak, orang tua merupakan tokoh identifikasi. Oleh sebab itut, tidaklah
mengherankan jika mereka meniru hal-hal yang dilakukan orang tua (Fachrozi dan
Diem, 2005:147). Anak serta merta akan meniru apa pun yang ia tangkap di
keluarga dan lingkungannya sebagai bahan pengetahuannya yang baru terlepas apa
yang didapatkannya itu baik atau tidak baik. Citraan orang tua menjadi dasar
pemahaman baru yang diperolehnya sebagai khazanah pengetahuannya artinya apa
saja yang dilakukan orang tuanya dianggap baik menurutnya. Apapun bahasa yang
diperoleh anak dari orang tua dan lingkungannya tersimpan di benaknya sebagai
konsep perolehan bahasa anak itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
orang tua dalam berbahasa di dalam keluarga (bahasa ibu) sangat dicermati anak
untuk ditirukan. Anak bersifat meniru dari semua konsep yang ada di
lingkungannya. Brown dalam Indrawati dan Oktarina (2005:24) mengemukakan bahwa
posisi ekstern behavioristik adalah anak lahir ke dunia seperti kertas putih,
bersih. Pernyataan itu memberikanan penjelasan nyata bahwa lingkungan dalam hal
ini keluarga terutama orang tua dalam pemberian bahasa yang kurang baik
khususnya tuturan lisan kepada anak akan menjadi dampak negatif yang akan
disambut oleh anak sebagai pemerolehan bahasa pertama (B1) yang menjadi modal
awal bagi seoarang anak untuk menyongsong kehadiran pemerolehan bahasa kedua
(B2).
Perolehan
bahasa kedua (B2 (bahasa Indonesia) merupakan sebuah kebutuhan bagi anak ketika
sedang mengikuti pendidikan di lembaga formal. Pada lembaga formal guru
mempunyai pengaruh yang sangat siknifikan sebagai pendidik sekaligus pengajar
di sekolah. Guru dengan konsep dapat digugu dan ditiru oleh anak akan menjadi
figure sosok seseorang pengganti orangtua, oleh karena itu sosok seorang guru
dalam kehadirannya di sekolah sebagai rumah kedua bagi anak, mempunyai peranan
penting dalam memberikan tuturan bahasa sebagai contoh bahasa kedua (B2).
Penyesuaian antara bahasa ibu (B1) dengan bahasa kedua (B2 (bahasa Indonesia)
yang dituturkan oleh guru membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu,
pada kelas rendah (kelas 1—3 SD) masih menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa
pengantar pendidikan. Pada Kelas lanjutan (4—6 SD dan seterusnya) guru akan
menggunakan bahasa Indonesia sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan teknologi
yang baru oleh anak. Apabila pada kelas lanjutan guru masih menggunakan bahasa
ibu bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pendidikan, maka dampak negatif yang
akan diperoleh anak. Sebagai contoh seorang guru matematika mengajarkan hasil
penjumlahan. Guru menanyakan proses penjumlahan dengan menggunakan bahasa
Palembang “Cakmano awak dapet hasil mak ini ni, cobo jelaske!” Bagi anak yang
berasal dari Palembang tidak menjadi masalah dan bisa saja menjelaskannya
(menggunakan bahasa Palembang), tetapi anak yang tidak berasal dari daerah
Palembang yang berada di kelas yang sama akan mengalami kesulitan menerima
bahasa daerah Palembang sebagai bahasa kedua (B2). Sebaliknya jika guru
matematika tersebut menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah
barang tentu dapat dipahami oleh warga belajar di kelas yang bersangkutan. Hal
yang terakhir ini akan menjadi sebuah kenyataan yang komunikatif antara petutur
dan penutur apabila warga kelasnya sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Sebaliknya, apabila anak sebagai peserta didik tetap
terbiasa mengggunakan bahasa daerah atau bahasa pertama (B1) yang juga sering
disebut sebagai bahasa ibu dalam komunikasi di lingkungan formal maka sangat
sulit guru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam menyampaikan
ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia pendidikan. Begitu pula apabila guru
dan anak sebagai peerta didik selalu menggunakan bahasa daerah sebagai
pengantar pendidikan maka tidak mengherankan bila penguasaan bahasa Indonesia
yang baik saja yang dikuasai anak. Sementara itu, keberadaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar yang menjadi tuntutan sebagai komonukasi formal atau resmi
akan dikesampingkan. Peranan Guru (kelas bawah) dan orang tua dalam berbahasa
ditunjang oleh faktor lingkungan sangat memberikan dampak yang sangat besar
dalam proses pemerolehan bahasa pertama (B1).
Pemberian figur berbahasa yang baik oleh orang
tua yang baik diperkuat dengan guru sebagai contoh berbahasa yang baik dan
benar di sekolah, maka anak akan mempunyai bekal dalam mempelajari pemerolehan
bahasa kedua (B2) yaitu bahasa Indonesia yang baik dan benar. ‘
Tidak ada komentar:
Posting Komentar